Technopreneur di Kampus: Solusi Strategis Menghadapi Pengangguran

Ketika saya pertama kali memasuki bangku perkuliahan Technopreneur, harapan terbesar saya, seperti mahasiswa lainnya, adalah mendapat pekerjaan yang layak setelah lulus. Namun, seiring waktu, saya mulai menyadari bahwa dunia kerja tidak lagi sama seperti satu dekade lalu. Gelar sarjana bukan lagi jaminan untuk bisa langsung mendapatkan pekerjaan. Bahkan, dalam beberapa kasus, lulusan perguruan tinggi justru menjadi bagian dari statistik pengangguran intelektual di Indonesia.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat pengangguran terbuka dari lulusan universitas masih tinggi, mencapai lebih dari 9% pada tahun 2024. Angka ini cukup mencemaskan, mengingat semestinya lulusan perguruan tinggi menjadi kelompok paling siap menghadapi tantangan pasar kerja. Namun kenyataannya tidak demikian. Dunia kerja menuntut keahlian yang lebih dari sekadar nilai akademik. Di sisi lain, perkembangan teknologi digital yang sangat cepat membuka peluang baru bagi generasi muda untuk menciptakan usaha sendiri. Di sinilah technopreneurship—wiraswasta berbasis teknologi—menjadi sebuah jawaban strategis.

Argumentasi

Technopreneurship tidak hanya menjadi solusi terhadap pengangguran, tetapi juga menjadi kunci dalam membentuk generasi muda yang mandiri, inovatif, dan siap bersaing di tingkat global. Sayangnya, pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam pendidikan tinggi kita. Banyak kampus masih terpaku pada pendekatan konvensional: perkuliahan satu arah, hafalan teori, dan tugas akhir yang bersifat individualistik serta minim dampak nyata terhadap masyarakat.

Di era digital seperti sekarang, paradigma tersebut sudah tidak relevan lagi. Dunia membutuhkan pemuda-pemudi yang mampu berpikir kritis, bekerja kolaboratif, serta menciptakan solusi nyata melalui pemanfaatan teknologi. Mahasiswa harusnya tidak hanya diajarkan untuk menjadi pekerja yang baik, tetapi juga pencipta pekerjaan—problem solver yang mampu menangkap peluang dari masalah.

Banyak negara maju yang sudah menerapkan model pendidikan yang mendukung technopreneurship sejak di bangku kuliah. Di Singapura, misalnya, mahasiswa diberikan kesempatan membangun startup sebagai bagian dari tugas akhir. Di Korea Selatan, pemerintah menyediakan dana khusus untuk mahasiswa yang ingin mendirikan perusahaan rintisan berbasis teknologi. Indonesia seharusnya bisa belajar dari model-model ini.

Saya pribadi pernah mengikuti program pengembangan startup yang diadakan oleh inkubator kampus. Bersama tiga teman dari jurusan berbeda, kami membangun aplikasi sederhana yang membantu UMKM lokal memasarkan produknya secara digital. Walaupun tidak langsung menghasilkan keuntungan besar, pengalaman itu sangat membuka wawasan saya tentang bagaimana dunia nyata bekerja, sekaligus menyadarkan saya bahwa peluang kerja bisa diciptakan, bukan hanya dicari.

Leave a Reply